Gajah Mada 138

Gajah Mada 138

Judgement of History[]

In modern Indonesia, Gajah Mada is viewed as a hero - a symbol of Indonesian patriotism and national pride. Gajah Mada is seen as an inspirational figure, one who exemplifies the potential greatness of all Indonesians. He would serve as a mythic propaganda symbol during the resistance to Japanese occupation and the ensuing revolt for independence from Dutch rule in the late 1940s. His legacy as the first to unite the many islands of the Indonesian archipelago into one nation will stand throughout history - as will his renowned dedication and unwavering loyalty to his king and the Majapahit people.

Javanese pronunciation often replaces a sounds with o sounds (represented by the å character).

Nir tuhu-tuhu wari tå kitå! Nir dahat apaŋguŋ Kunaŋ!

Haŋ halaŋi tå kitå, pāla ni ŋhulun prayåcå nirå!

Ndatan mĕnaŋ i kitå kumalahakĕn ātmå ni ŋhulun.

Haŋadĕg tå kitå, hinar pakĕn mahawiryå Gajah Mådå, rìŋ Nuswantårå!

Riŋ hayun tå ayo watu apĕraŋ lawan ulun.

Aparan tå yan alilirwan, kitå lawan ulun?

Honor be with you, oh great hero Gajah Mada, prime minister of Majapahit and uniter of the Indonesian archipelago. The stories of your heroism on the battlefield are bested only by the legends of your sworn oath to unite the far-flung islands of Indonesia under one banner. Serving your queen and empire with loyalty, you not only strive to fulfill your oath and conquered any who stood in your path, but you succeeded in capturing what was then the entirety of the known archipelago, the first to unite what is today modern Indonesia.

Mighty warrior Gajah Mada, your people yearn for a strong leader who can return them to prosperity! Will you set out to conquer the neighboring kingdoms, further expanding your glory of your empire? Will you build a civilization that can stand the test of time?

Concept art of Gajah Mada

Statue of Gajah Mada at Madakaripura Waterfall

Statue of Gajah Mada at the Telecommunications Museum in Jakarta, which is the inspiration for his in-game design.

Featuring a fully animated and voiced 3D Leader CIVITAS presents...

Ability | Sumpah Palapa

Agenda | Nagarakretagama

Unique Unit | Cetbang

This mod currently includes support for the following items:

The current version of CIVITAS Gajah Mada is v1.03.

Deliverator, Digihuman, Sailor Cat, SeelingCat

SeelingCat, Sailor Cat, Deliverator

ChimpanG, P0kiehl, TheCrazyScotsman

This mod has been bug-tested but if you do experience any serious bugs, please provide detailed information in the pinned conversation below.

This mod may not be compatible with Mac. If the databases do not match (due to a delayed update from Aspyr for example), any issues will likely be caused by the fact that we might be referencing a game_effect in this mod that doesn't exist yet on Mac databases.

You may experience bugs, crashes, and other weird and wonderful things that come with trying to use Linux for gaming. If you find that this is the case, unfortunately, this mod will be incompatible with your Linux system.

Gak perlu repot lagi buat ngemanjain lidahmu, tinggal buka hape aja

Nikmati banyak pilihan makanan, promo, dan fitur eksklusif di GoFood.

© 2024 Gojek | Gojek adalah merek milik PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. Terdaftar pada Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual Republik Indonesia.

Buka setiap hari jam 10:00 ~ 22:00

Menjual berbagai masakan Indonesia seperti nasi tumpeng, ayam bakar, ayam penyet, sate, dll

Gajah Mada (lahir ca 1280 – wafat ca 1364), dikenal juga dengan nama lain Jirnnodhara[3] adalah seorang panglima perang dan Mahapatih (Perdana menteri) yang sangat berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit.[4][5][6] Menurut berbagai sumber puisi, kitab, dan prasasti dari zaman Jawa Kuno, ia memulai kariernya tahun 1313, dan semakin menanjak setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti pada masa pemerintahan Sri Jayanagara, yang mengangkatnya sebagai Patih.[4] Dia diangkat menjadi patih (perdana menteri) pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi dan karirnya berlanjut hingga masa kekuasaan Hayam Wuruk yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya.[7]Beliau diketahui menganut keyakinan Syiwa-Budha.

Pasca Insiden Bubat thn 1357 Masehi, Beliau diasingkan Ke Desa Madakaripura ,Probolinggo Hingga Akhir Hayat dan Meninggal dunia pada Thn 1364 Masehi.

Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di dalam Pararaton.[8] Ia menyatakan tidak akan istirahat atau menikmati kesenangan sebelum berhasil menyatukan Nusantara.[9]:363-364 Meskipun ia adalah salah satu tokoh sentral saat itu, sangat sedikit catatan-catatan sejarah yang ditemukan mengenai dirinya. Wajah sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini masih kontroversial.[10] Banyak masyarakat Indonesia masa sekarang yang menganggapnya sebagai pahlawan dan simbol nasionalisme Indonesia[11] dan persatuan Nusantara.[12]

Penggambaran Gajah Mada sebagai arca, kanan ke kiri:

Penggambaran rupa Gajah Mada yang populer di media sebenarnya adalah imajinasi dari Mohammad Yamin, di bukunya yang berjudul "Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara", terbit pertama kali tahun 1945. Pada suatu hari di tahun 1940-an, Yamin mengunjungi Trowu­lan untuk melihat lokasi bekas kerajaan Majapahit. Ia menemukan pecahan terakota, salah satunya celengan berupa wajah seorang pria berwajah gempal dan berambut ikal. Berdasar bentuk muka wajah ce­lengan itu, Yamin menafsirkan seperti itulah wajah Gajah Mada sang pemersatu Nusantara. Yamin kemudian meminta seniman Henk Ngantung membuat lukisan seperti terakota tersebut. Hasil lukisan lalu dipampang sebagai sampul muka buku karya Yamin. Banyak orang yang menentang pendapat Yamin, karena mustahil wajah tokoh sebesar Gajah Mada dipampangkan di celengan. Hal semacam itu adalah penghinaan karena biasanya para pemuka negara pada zaman Hindu Buddha, termasuk Majapahit, diarcakan. Bebe­rapa orang bahkan yakin bahwa wajah yang disangka Gajah Mada itu tidak lain adalah wajah Yamin sendiri.[13]

Ada pula gambaran lain soal sosok Gajah Mada, berbeda dari yang diilustrasikan M. Yamin, yakni hasil penelitian arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar. Dia mengilustrasikan Gajah Mada selayaknya sosok Bima dalam pewayangan, yakni berkumis melintang.[14] Dalam media populer, Gajah Mada kebanyakan ditampilkan bertelanjang dada, memakai kain sarung, dan menggunakan senjata berupa keris. Meskipun ini mungkin benar dalam tugas sipil, pakaian lapangannya mungkin berbeda: Seorang patih Sunda menerangkan, seperti yang tertulis dalam kidung Sundayana, bahwa Gajah Mada mengenakan karambalangan (lapis logam di depan dada—breastplate) berhias timbul dari emas, bersenjata tombak berlapis emas, dan perisai penuh dengan hiasan dari intan berlian.[15][16]

yang mungkin dipakai Gajah Mada, kiri ke kanan:

Menurut Munandar, pada awalnya Gajah Mada diarcakan sebagai tokoh Brajanata dalam cerita panji, dan sebagai Bima dalam cerita Mahabharata pada masa kemudian. Pada awalnya Gajah Mada tidak langsung diarcakan sebagai tokoh Bima, ia diarcakan sebagai tokoh Brajanata karena kisah Panji lebih dulu dikenal daripada kegiatan pembuatan arca-arca Bima yang agaknya mulai berlangsung pada pertengahan abad ke-15. Pemuliaan Gajah Mada pada tahap pertama bersifat profan—adalah dalam bentuk pengarcaannya sebagai Brajanata, namun selanjutnya terjadi pemuliaan Gajah Mada dalam tahap kedua yang lebih bersifat sakral, yaitu disetarakan dengan Bima sebagai salah satu aspek Siwa.[17] Pada arca yang terdapat di Museum Nasional, arca tersebut digambarkan berbadan tegap, kumis melintang, rambut ikal berombak, di bagian puncak kepala terdapat ikatan rambut dengan pita membentuk seperti topi tekes. Ia mengenakan busana dan perhiasan gelang dan kelat lengan atas berupa ular sebagaimana Bima.[18]

Arca Bima dibuat pada masa akhir Majapahit dalam pertengahan abad ke-15. Ciri-cirinya adalah: a) Memakai mahkota supit urang (rambutnya dibentuk 2 lengkungan di puncak kepala seperti jepitan udang), b) Berkumis melintang, c) Berbadan tegap, d) Memakai kain poleng (hitam-putih), e) Lingganya selalu digambarkan menonjol.[19] Pada arca Bima yang tersimpan di Museum Nasional, beliau digambarkan berdiri tegak dengan kedua tangan disamping tubuhnya, tangan kanan memegang gadha, lingganya digambarkan menonjol menyingkirkan selendang yang menjuntai di antara 2 kaki, memakai upawita ular, mahkota supit urang, wajah sangar, kumis tebal melintang, rambut di atas dahinya digambarkan ikal membentuk seperti jamang (hiasan dahi).[20] Adanya kesamaan antara arca Brajanata sebagai perwujudan Gajah Mada dengan arca Bima bukanlah suatu kebetulan, melainkan terdapat konsepsi yang mendasarinya: Konsepsi itu berkembang seiring dengan semakin jauhnya jarak peristiwa sejarah dengan para pemujanya pada masa yang lebih kemudian.[19]

Kata "Gajah" mengacu kepada hewan yang besar yang disegani hewan lainnya, dalam mitologi Hindu dipercaya sebagai wahana (hewan tunggangan) dari dewa Indra. Gajah juga dihubungkan dengan Ganesa, dewa berkepala gajah berbadan manusia, putra Siwa dan Parwati. Adapun kata "Mada" dalam bahasa Jawa kuno artinya mabuk, bisa dibayangkan jika seekor gajah sedang mabuk, ia akan berjalan seenaknya, beringas, menerabas segala rintangan. Maka apabila dihubungkan dengan tokoh Gajah Mada, nama itu dapat ditafsirkan dalam 2 sifat, yaitu:[21]

Dalam prasasti Gajah Mada diketahui julukan lain beliau, yaitu Rakryan Mapatih Jirnnodhara. Mungkin nama itu hanya sekadar gelaran bagi Gajah Mada, tetapi dapat pula dipandang sebagai nama resminya. Arti kata Jirnnodhara adalah "pembangun sesuatu yang baru" atau "pemugar sesuatu yang telah runtuh/rusak". Dalam pengertian harfiah Gajah Mada adalah pembangun caitya bagi Kertanegara yang semula belum ada. Dalam pengertian kiasan ia dapat dipandang sebagai pemugar dan penerus gagasan Kertanegara dalam konsep Dwipantara Mandala.[3]

“Pada tahun saka 1213/1291 M, Bulan Jyesta, pada waktu itu saat wafatnya Paduka Bhatara yang dimakamkan di Siwabudha…Rakryan Mapatih Mpu Mada, yang seolah-olah sebagai yoni bagi Bhatara Sapta Prabhu, dengan yang terutama di antaranya ialah Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwarddhani, cucu-cucu putra dan putri paduka Bhatara Sri Krtanagarajnaneuwarabraja Namabhiseka pada waktu itu saat Rakryan Mapatih Jirnnodhara membuat caitya bagi para brahmana tertinggi Siwa dan Buddha yang mengikuti wafatnya paduka Bhatara dan sang Mahawrddhamantri (Mpu Raganatha) yang gugur di kaki Bhatara.”

Demikian bunyi Prasasti Gajah Mada yang bertarikh 1273 saka atau tahun 1351. Sebagai mahamantri terkemuka, Gajah Mada dapat mengeluarkan prasastinya sendiri dan berhak memberi titah membangun bangunan suci (caitya) untuk tokoh yang sudah meninggal. Prasasti itu memberitakan pembangunan caitya bagi Kertanagara. Raja terakhir Singhasari itu gugur di istananya bersama patihnya, Mpu Raganatha dan para brahmana Siva dan Buddha, akibat serangan tentara Jayakatwang dari Kediri.

Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar, agaknya Gajah Mada memiliki alasan khusus mengapa memilih membangunkan caitya bagi Kertanagara daripada tokoh-tokoh pendahulu lainnya. Padahal, selama era Majapahit yang dipandang penting tentunya Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit. kemungkinan besar bangunan suci yang didirikan atas perintah Gajah Mada adalah Candi Singhasari di Malang. Pasalnya, Prasasti Gajah Mada ditemukan di halaman Candi Singhasari. Bangunan candi lain yang dihubungkan dengan Kertanagara, yaitu Candi Jawi di Pasuruan. Candi ini sangat mungkin didirikan tidak lama setelah tewasnya Kertanagara di Kedaton Singhasari.[22]

Menurut Agus, berdasarkan data prasasti, karya sastra, dan tinggalan arkeologis, ada dua alasan mengapa Gajah Mada memuliakan Kertanagara hingga mendirikan candi baginya. Pertama, Gajah Mada mencari legitimasi untuk membuktikan Sumpah Palapa. Dia berupaya keras agar wilayah Nusantara mengakui kejayaan Majapahit. Kertanagara adalah raja yang memiliki wawasan politik luas. Dengan wawasan Dwipantara Mandala, dia memperhatikan daerah-daerah lain di luar Pulau Jawa. Dengan demikian Gajah Mada seakan meneruskan politik pengembangan mandala hingga seluruh Dwipantara (Nusantara) yang awalnya telah dirintis oleh Kertanegara.

Kedua, dalam masa Jawa Kuno, candi atau caitya pen-dharma-an tokoh selalu dibangun oleh kerabat atau keturunan langsung tokoh itu, seperti Candi Sumberjati bagi Raden Wijaya dibangun tahun 1321 pada masa Jayanegara; dan Candi Bhayalango bagi Rajapatmi Gayatri dibangun tahun 1362 oleh cucunya, Hayam Wuruk. Atas alasan itu, Gajah Mada masih keturunan dari Raja Kertanagara. Setidaknya Gajah Mada masih punya hubungan darah dengan Kertanagara.

Ayah Gajah Mada mungkin sekali bernama Gajah Pagon yang mengiringi Raden Wijaya ketika berperang melawan pengikut Jayakatwang dari Kediri. Gajah Pagon tidak mungkin orang biasa, bahkan sangat mungkin anak dari salah satu selir Kertanagara karena dalam kitab Pararaton, nama Gajah Pagon disebut secara khusus. Ketika itu, Raden Wijaya begitu mengkhawatirkan Gajah Pagon yang terluka dan dititipkan kepada seorang kepala desa Pandakan. Menurutnya, sangat mungkin Gajah Pagon selamat kemudian menikah dengan putri kepala desa Pandakan dan akhirnya memiliki anak, yaitu Gajah Mada yang mengabdi pada Majapahit.[22]

Gajah Mada mungkin memiliki eyang yang sama dengan Tribhuwana Tunggadewi. Bedanya Gajah Mada cucu dari istri selir, sedangkan Tribhuwana adalah cucu dari istri resmi Kertanagara. Dengan demikian, tidak mengherankan dan dapat dipahami mengapa Gajah Mada sangat menghormati Kertanagara karena Raja itu adalah eyangnya sendiri. Hanya keturunan Kertanegara saja yang akan dengan senang hati membangun caitya berupa Candi Singasari untuk mengenang kebesaran leluhurnya itu. Bahkan konsepsi Dwipantra Mandala dari Kertanagara mungkin menginspirasi dan mendorong Gajah Mada dalam mencetuskan Sumpah Palapa.[22]

Tidak ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia saat pada awal kehidupannya, kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa yang kariernya naik saat menjadi Bekel (kepala pasukan) Bhayangkara (pengawal Raja) pada masa Prabu Jayanagara (1309–1328). Terdapat sumber yang mengatakan bahwa Gajah Mada bernama lahir Mada,[23] sedangkan nama Gajah Mada[24] kemungkinan merupakan nama sejak menjabat sebagai patih.[25]

Menurut Pararaton, Gajah Mada sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkara berhasil menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309–1328) ke desa Badander dan memadamkan pemberontakan Ra Kuti (salah seorang Dharmaputra, pegawai istana yang diistimewakan sejak masa Raden Wijaya). Sebagai balas jasa, dalam pupuh Désawarnana atau Nāgarakṛtāgama karya Prapanca[26] disebutkan bahwa Jayanagara mengangkat Gajah Mada menjadi patih Kahuripan (1319). Dua tahun kemudian, dia menggantikan Arya Tilam yang mangkat sebagai patih di Daha / Kediri. Pengangkatan ini membuatnya kemudian masuk ke strata sosial elitis istana Majapahit pada saat itu. Selain itu, Gajah Mada digambarkan pula sebagai "seorang yang mengesankan, berbicara dengan tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat".[27][28]

Pasca Jayanagara mangkat, Arya Tadah yang merupakan Patih Amangkubhumi mengajukan pengunduran diri dari jabatannya kepada Ibusuri Gayatri yang menggantikan kedudukan Jayanegara dan menunjuk Patih Gajah Mada dari Daha/Kediri. Gajah Mada sebagai Patih Daha sendiri tak langsung menyetujuinya, tetapi ia ingin membuat jasa terlebih dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang memberontak.

Tribuwana Wijayatunggadewi yang menjadi Rani Kahuripan menjadi pelaksana tugas pemerintahan Majapahit. Bahkan setelah Gayatri meninggal pada 1331, Tribhuwana Wijayatunggadewi tetap sebagai Maharani dari kerajaan Majapahit. Setelah Keta dan Sadeng dapat ditaklukan oleh Gajah Mada, barulah pada tahun 1334, Gajah Mada diangkat menjadi Patih Amangkubhumi secara resmi menggantikan Arya Tadah (Mpu Krewes) yang sudah sepuh, sakit-sakitan, dan meminta pensiun sejak tahun 1329.

Ketika pengangkatannya sebagai Patih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1334 M) Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang berisi bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton dalam teks Jawa Pertengahan yang berbunyi sebagai berikut:[9]:363

Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".

[Akhirnya] Gajah Mada menjadi patih mangkubumi, [tetapi] tidak ingin amukti palapa. Gajah Mada [bersumpah], "Jika sudah takluk Nusantara, [maka] aku amukti palapa. Jika [sudah] takluk Gurun, Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah aku amukti palapa".

Petrus Josephus Zoetmulder memaknai amukti palapa sebagai "menikmati suatu keadaan dimana segalanya bisa diambil", atau secara sederhana "menikmati kesenangan"; sedangkan menurut Slamet Muljana bermakna "menikmati istirahat".[9]:364

Menurut sejarawan Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, sumpah Gajah Mada itu menimbulkan kegemparan. Para petinggi kerajaan seperti Ra Kembar, Ra Banyak, Jabung Tarewes, dan Lembu Peteng merespons dengan negatif. Tindakan mereka membuat Gajah Mada sangat marah karena ditertawakan. Hal ini diperkuat juga oleh Muhammad Yamin dalam Gajah Mada: Pahlawan Pemersatu Nusantara. Gajah Mada pun meninggalkan paseban dan terus pergi menghadap Batara Kahuripan, Tribhuana Tunggadewi. Dia sangat berkecil hati karena dapat rintangan dari Kembar, walaupun Arya Tadah membantu sekuat tenaga.

Arya Tadah memang pernah berjanji akan memberi bantuan dalam segala kesulitan kepada Gajah Mada. Namun, menurut Slamet Muljana, Arya Tadah sebenarnya juga ikut menertawakan program politik Gajah Mada itu karena pada hakikatnya, Arya Tadah alias Empu Krewes tidak rela melihat Gajah Mada menjadi patih amangkubumi sebagai penggantinya. Pengepungan Sadeng dan Keta di Jawa Timur terjadi pada tahun 1331. Ketika itu yang menjadi patih amanngkunhimi adalah Arya Tadah. Dia menjanjikan kepada Gajah Mada, sepulang dari penaklukkan Sadeng dia akan diangkat menjadi patih amangkubhumi menggantikannya. Alangkah kecewanya Gajah Mada, karena Kembar mendahuluinya mengepung Sadeng. Untuk menghindari sengketa antara Gajah Mada dan Kembar, Rani Tribhuana Tunggadewi datang sendiri ke Sadeng membawa tentara Majapahit. Kemenangan atas Sadeng tercatat atas nama Sang Rani sendiri. Semua peserta penaklukan Sadeng dinaikkan pangkatnya. Gajah Mada mendapat gelar angabehi, dan Kembar dinaikkan sebagai bekel araraman. Saat itu, Gajah Mada sendiri telah menjadi patih Daha.

Gajah Mada melaksanakan politik penyatuan Nusantara selama 21 tahun, yakni antara tahun 1336 sampai 1357. Isi program politik ialah menundukkan negara-negara di luar wilayah Majapahit, terutama negara-negara di seberang lautan, yakni Gurun (Lombok), Seram, Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatera Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang (Sriwijaya), dan Tumasik (Singapura). Bahkan, dalam kitab Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 nama-nama negara yang disebutkan jauh lebih banyak daripada yang dinyatakan dalam sumpah Nusantara.

Walaupun ada sejumlah pendapat yang meragukan sumpahnya, Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Dibantu oleh Laksamana Nala, Gajah Mada memulai kampanye penaklukannya dengan menggunakan pasukan laut ke daerah Swarnnabhumi (Sumatra) tahun 1339, pulau Bintan, Tumasik (sekarang Singapura), Semenanjung Malaya, kemudian pada tahun 1343 bersama dengan Arya Damar menaklukan Bedahulu (di Bali) dan kemudian menaklukan Lombok, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Sulu, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.

Pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350–1389) yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Gajah Mada terus melakukan penaklukan ke wilayah timur sampai tahun 1357 seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

Terdapat dua wilayah di Pulau Jawa yang terbebas dari invasi Majapahit yakni Pulau Madura dan Kerajaan Sunda, karena kedua wilayah ini mempunyai keterkaitan erat dengan Nararya Sanggramawijaya atau secara umum disebut dengan Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit sekaligus raja pertama dari Kerajaan Majapahit (Lihat: Prasasti Kudadu 1294[29] dan Pararaton Lempengan VIII, Lempengan X s.d. Lempengan XII[30] dan Invasi Yuan-Mongol ke Jawa pada tahun 1293) sebagaimana diriwayatkan pula dalam Kidung Panji Wijayakrama.

Dalam Kidung Sunda[31] diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam Wuruk mulai melakukan langkah-langkah diplomasi dengan hendak menikahi Dyah Pitaloka Citraresmi putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayah dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu langkah-langkah diplomasi Hayam Wuruk gagal dan Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya karena dipandang lebih menginginkan pencapaiannya dengan jalan melakukan invasi militer padahal hal ini tidak boleh dilakukan.

Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh "Madakaripura" yang berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.[32]

Tersebut pada tahun saka angin 8 utama (1285). Baginda menuju Simping demi pemindahan candi makam... Sekembalinya dari Simping segera masuk ke pura. Terpaku mendengar Adimenteri Gajah Mada gering. Pernah mencurahkan tenaga untuk keluhuran ke Jawa. Di Pulau Bali serta Kota Sadeng memusnahkan musuh.

Begitulah bunyi pemberitaan dalam Kakawin Nagarakretagama pupuh 70 bait 1–3 dikutip Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Raja Majapahit Rajasanegara atau Hayam Wuruk yang sedang melakukan perjalanan upacara keagamaan ke Simping (Blitar) dikejutkan dengan berita Gajah Mada sakit. Dia segera kembali ke ibu kota Majapahit.

Meski perannya di Kerajaan Majapahit begitu melegenda, akhir riwayat Gajah Mada hingga kini masih belum jelas. Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Gajah Mada Biografi Politik menulis, ada berbagai sumber yang mencoba menjelaskan akhir hidup Gajah Mada. Sumber pertama adalah Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca itu mengisahkan akhir hidup Gajah Mada dengan kematiannya yang wajar pada tahun 1286 Saka (1364 M). Dari cerita-cerita rakyat Jawa Timur, Gajah Mada dikisahkan menarik diri setelah Peristiwa Bubat dan memilih hidup sebagai pertapa di Madakaripura di pedalaman Probolinggo selatan, wilayah kaki pegunungan Bromo-Semeru. Di wilayah Probolinggo ini memang terdapat air terjun bernama Madakaripura yang airnya jatuh dari tebing yang tinggi. Di balik air terjun yang mengguyur bak tirai itu terdapat deretan ceruk dan satu goa yang cukup menjorok dalam dan dipercaya dulu Gajah Mada menjadi pertapa dengan menarik diri dari dunia ramai sebagai wanaprastha (menyepi tinggal di hutan) hingga akhir hayatnya.

Adapun Kidung Sunda menyebutkan bahwa Gajah Mada tidak meninggal. Kidung ini membeberkan bahwa Gajah Mada moksa dalam pakaian kebesaran bak Dewa Visnu. Dia moksa di halaman kepatihan kembali ke khayangan. Namun, Agus Aris Munandar menyatakan bahwa akhir kehidupan Gajah Mada lenyap dalam uraian ketidakpastian karena dia malu dengan pecahnya tragedi Bubat. Selanjutnya, menurut Agus, bisa ditafsirkan bahwa Gajah Mada memang sakit dan meninggal di Kota Majapahit atau di area Karsyan yang tak jauh dari sana. Itu sebagaimana dengan keterangan kembalinya Rajasanagara ke ibu kota Majapahit dalam Nagarakretagama, segera setelah mendengar sang patih sakit.

Absennya Gajah Mada dalam politik Majapahit meninggalkan luka bagi sang raja. Hayam Wuruk sangat bersedih. Bahkan dikisahkan raja itu begitu putus asa. Dia langsung menemui ibunya, kedua adik, dan kedua iparnya untuk membicarakan pengganti kedudukan sang Patih Amangkubhumi. Namun, "Baginda berpegang teguh, Adimenteri Gadjah Mada tak akan diganti,” tulis Nagarakretagama pupuh 71 bait 3.[33]

Hayam Wuruk pun mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk memutuskan pengganti Gajah Mada. Karena tidak ada satu pun yang sanggup menggantikan Patih Gajah Mada, Hayam Wuruk kemudian memilih empat Mahamantri Agung dibawah pimpinan Mpu Nala Tanding untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Mereka pun digantikan oleh dua orang mentri yaitu Gajah Enggon dan Gajah Manguri. Akhirnya Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai Patih Amangkubhumi menggantikan posisi Gajah Mada.

Sebagai salah seorang tokoh utama Majapahit, nama Gajah Mada sangat terkenal di masyarakat Indonesia pada umumnya. Pada masa awal kemerdekaan, para pemimpin antara lain Sukarno dan Mohammad Yamin sering menyebut sumpah Gajah Mada sebagai inspirasi dan "bukti" bahwa bangsa ini dapat bersatu, meskipun meliputi wilayah yang luas dan budaya yang berbeda-beda. Dengan demikian, Gajah Mada adalah inspirasi bagi revolusi nasional Indonesia untuk usaha kemerdekaannya dari kolonialisme Belanda.

Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta adalah universitas negeri yang dinamakan menurut namanya. Satelit telekomunikasi Indonesia yang pertama dinamakan Satelit Palapa, yang menonjolkan perannya sebagai pemersatu telekomunikasi rakyat Indonesia. Banyak kota di Indonesia memiliki jalan yang bernama Gajah Mada, namun menarik diperhatikan bahwa tidak demikian halnya dengan kota-kota di Jawa Barat.

Buku-buku fiksi kesejarahan dan sandiwara radio sampai sekarang masih sering menceritakan Gajah Mada dan perjuangannya memperluas kekuasaan Majapahit di Nusantara dengan Sumpah Palapa-nya, demikian pula dengan karya seni patung, lukisan, dan lain-lainnya.

Personality and Behavior[]

Gajah Mada will most often go for a cultural victory.

Gajah Mada likes to expand his empire, and is very keen on building a strong naval fleet and infrastructure. As such, the Indonesians will have some of the better water connections.

Gajah Mada focuses largely on Faith and will spread his religion aggressively.

Apart from his focus on religion, Gajah Mada puts a priority on developing his economy and Culture, as well as Happiness. He will also try to build several wonders.

Gajah Mada is one of the bolder leaders, as well as one of the less loyal ones. While he can, at times, be hostile, he is not quite a warmonger. He may also backstab his allies, so befriend him with caution.

Gajah Mada is often protective of city-states, and will also bully them frequently. He will almost never try to conquer them.

On some occasions, Gajah Mada will try to build new cities right next to other players' Capitals, which will allow him to take advantage of his unique ability on certain maps. If your Capital is on an island, be sure to expand your borders so that he cannot get a water connection by your side.

Gajah Mada (loosely translated as the "Elephant General"), hero to the people of Indonesia and symbol of national pride and patriotism, served as Prime Minister of the Majapahit Empire of Indonesia for the better part of the 14th century AD. Although little information exists as to his early life and upbringing, it is known that he was born a commoner, rising to power based solely on his intellect and cunning - along with a renowned ferocity in battle. Serving as a royal bodyguard, Gajah Mada was instrumental in quashing a rebellion against his king, and was rewarded with a path to joining the ruling elite. Eventually rising to the position of Prime Minister, Gajah Mada led the Majapahit Empire to great success in conquering many of the neighboring island kingdoms, becoming the first to unite much of the territory that encompasses modern Indonesia.

The earliest records of Gajah Mada's life begin in adulthood, when he is said to have served as commander of an elite guard unit entrusted with protecting the royal family of the Majapahit Emperor, Jayanagara (1309-1328 AD). During this period, a rogue Majapahit political officer known as Rakrian Kuti lead a rebellion against King Jayanagara. Learning of the plot, Gajah Mada safely escorted the king out of the capital city, which fell to Kuti's forces, and into hiding in the nearby city of Badander. Once the king was secure, legend has it that Gajah Mada spread rumors of the king's death to disrupt the rebellion, while organizing a group to retake the capital and reinstate the rightful king. Gajah Mada found that many of the military caste were dismayed by the king's supposed death and that Kuti was unpopular among the people. In the ensuing counter-insurrection, the upstart Kuti was killed, and Gajah Mada was rewarded for his efforts with his first leadership position within the ruling party.

Chơi Gajah Mada Lampung trên PC với giả lập nhẹ LDPlayer

Gajah Mada Lampung là game Trò chơi giáo dục trên thiết bị mobile, được phát hành bởi Makaryo Studio. Sử dụng giả lập Android tốt nhất-LDPlayer, bạn có thể tải và chơi vui Gajah Mada Lampung trên PC.

Chơi Gajah Mada Lampung trên máy tính, bạn có thể tận dụng phần cứng CPU và bộ nhớ RAM mạnh mẽ của máy tính, không còn bị giật lag hoặc bị đứng, khỏi lo những giới hạn trên mobile như pin bị tụt nhanh, data có hạn và cuộc gọi rác đến, muốn chơi bao lâu thì chơi bấy lâu.

LDPlayer là một trong những giả lập Android trên máy tính Windows, chuyên thiết kế cho người chơi đam mê game mobile. Với sự tích hợp của hệ điều hành Android 9.0, qua hiệu năng siêu mạnh và FPS cực cao, LDPlayer sẽ giúp bạn tăng trải nghiệm chơi Gajah Mada Lampung trên máy tính.

Ngoài ra, LDPlayer còn cung cấp nhiều tính năng mô phỏng đặc biệt, ví dụ như trình đa nhiệm (multi play), lệnh script (ghi chép hành động), thao tác đồng bộ (multi control), điều khiển từ xa (OSLink) và những tính năng khác không hề có trên mobile. Hãy tải và chơi ngay Gajah Mada Lampung trên máy tính nha!

3D adventure game that can explore the Gajah Mada Lampung School, Traditional House, and Menata Siger. In the game, quizzes are given that appear on the objects visited.

Back to the list of leaders

Gajah Mada (c. 1290 AD – 1364 AD), translated as Elephant General, was a powerful military leader and mahapatih or prime minister of the Majapahit Empire, credited with bringing the empire to its peak of glory. He delivered an oath called Sumpah Palapa, in which he vowed not to enjoy the pleasures of the world until he had conquered all of the Southeast Asian archipelago of Nusantara for Majapahit. He leads the Indonesians in Civilization V: Brave New World.

Gajah Mada speaks Old Javanese, although there are some words derived from the modern Javanese language in his lines. On his diplomacy screen, he is standing in what appears to be a rice paddy, with kris sword in hand, with dense jungle on low lying hills cloaked in fog with a candi in the background. Gajah Mada's design is clearly based on the statue in front of the Telecommunications Museum in Jakarta, Indonesia, with only a slight difference on the belt.

Unique Unit: Kris Swordsman

Unique Building: Candi

Unique Ability: Spice Islanders

Voice Actor: Icha Setiawan

Prime Minister of Majapahit[]

Some years later, according to legend, Gajah Mada's loyalty waned when the king took Mada's wife as a concubine. In the tale, Gajah Mada convinced the court physician, a one-time supporter of Kuti, to kill the king when he fell ill; upon the king's death, Gajah Mada promptly had the physician arrested and executed. Whatever the truth in the tale, following the death of Jayanagara, his step-sister Tribhuwana Wijayatunggadewi ascended the throne with ambitions to expand the reach of her empire. Fortunately for Gajah Mada, his role in this expansion was considered integral by the new queen, and he was named mahapatih, or Prime Minister, in 1329 AD. With sweeping powers and new authority, Gajah Mada set his sights on the far-flung reaches of the archipelago, vowing great things for the empire that entrusted him with its future. His famous oath, known as the Sumpah Palapa - often the subject of varying interpretations - declared in the most basic terms "I will not indulge in the fruits or spice, the earthly pleasures, until all of the known islands are conquered for the Majapahit."

Following Gajah Mada's return in 1331 AD from suppressing a rebellion in Sadeng (eastern Java), it wasn't long before he launched his campaigns to conquer the neighboring islands of the Indonesian archipelago, beginning with Bali and Lombok in 1343. One by one he captured kingdoms and cities, states and provinces, all for the glory of his people. These included the Buddhist kingdom of Sriwijaya in Palembang and small kingdoms in West Sumatra, where Gajah Mada installed a Majapahit prince as a vassal ruler. The Elephant General then conquered Samudra Pasai in Sumatra, the first Muslim sultanate in Indonesia. Following this victory, in the span of two years Majapahit forces overran another half-dozen independent cities and kingdoms, including Temesek (now known as Singapore) across the straits.

Tribhuwana abdicated the Majapahit throne in 1350 AD in favor of her son Hayam Wuruk, considered the greatest of the kings of the Majapahit. During his reign the empire reached its greatest extent, encompassing the whole of the Indonesian archipelago. Trade and the arts flourished under the king. The new king was content to leave the affairs of the nation to his prime minister, while he himself patronized the arts and sciences. With the tacit support of the king, Gajah Mada proceeded to add two dozen kingdoms to the empire, some as far away as modern-day Malaysia and the southern Philippines.

Having conquered more than a dozen islands within the archipelago by 1357, Gajah Mada found himself in a difficult position, with one of the last remaining independent kingdoms being the Sunda in West Java. Although plans had been laid for the princess of the Sunda to marry the Hayam Wuruk, forming an alliance, Gajah Mada sought to press the Sunda further. By denying that the Sunda princess would become Queen Consort of Majapahit and instead be only a concubine, Gajah Mada enraged Sunda sensibilities. In meeting the wedding party at the town of Bubat, the negotiations degenerated into open hostility, and a skirmish ensued. Gajah Mada and his forces massacred the entire Sunda royal family and its bodyguard.

The incident marred the legacy of Gajah Mada as his actions were seen as reckless and heavy-handed. Majapahit ministers and courtiers condemned him as bloodthirsty and brutal. The king stripped Gajah Mada of his titles, authority, and honors. The once most-powerful man in the empire would spend the rest of his days in relative solitude at his remaining estate in East Java. Gajah Mada would die in relative obscurity in 1363 AD.